the lost memory 12


Sudah seminggu sejak ujian akhir di sekolahku, masa-masa menegangkan itu telah kulalui bersama dengan teman-teman yang menarik. Akhir-akhir ini kami jarang bertemu karena ada urusan masing-masing, mungkin hanya beberapa teman dekat yang bias kutemui saat ini. Latihan-latihan ke studio jarang bahkan sudah tidak pernah kami lakukan.
Langit mendung menghiasi di langit kota kecil ini, terdengar hujan rintik-rintik di atap yang menambah suara berisik pada kamar kosku yang sempit ini. Aku merasa ini sudah akhir dari tujuan hidup kami, masa-masa sekolah dulu yang menyenangkan telah terlewati tanpa ada satupun bukti yang bias kami kenang bersama-sama saat merasakan masa-masa itu. Banyak teman-temanku yang sudah mendaftarkan diri ke universitas – universitas yang berada jauh di luar kota ini.
Aku menyalakan sebatang rokok rasa kopi yang saat ini popular dikalangan kami para remaja yang tidak memiliki tujuan hidup yang masih belum jelas. Aku memandangi setiap sudut kamar kosku ini, aku hanya melihat beberapa buku-buku ilmu keperawatan dan sepatu using milikku yang ku letakkan di bawah ranjang kecil ini yang membuat teman-temanku bilang aromanya sangat mencekam.
bergaya sebelum jaya hahaha
Aku teringat saat aku masih baru datang di tempat kos ini, belum ada yang ku kenal. Di kamar sebelahku ada tiga orang mereka mahasiswa akademi keperawatan yang berasal dari luar kota.mereka bernama mas Andre, mas Roni, mas Deni. Dan beberapa teman kos lain yang aku sudah lupa namanya. Mungkin hanya ibu kos dengan anak dan cucunya yang meramaikan suasana di kos-kosan ini.
Cuaca di luar semakin memburuk angin liar bergerak kesana kemari memutar-mutar peohonan di pinggir jalan besar itu. Hujan semakin deras tapi masih banyak orang berlalu-lalang tanpa tujuan yang aku mengerti. Aku tersenyum saat menatap mereka menahan gempuran angin dan air hujan yang sangat deras. Di kejahuan terlihat anak-anak SMA seusiaku berjalan sambil memegangi rok mereka yang seakan-akan hendak terlepas saat mengendarai motor mereka melaju di jalanan.
Hari ini hari terakhirku berada di kosku ini, sebentar lagi temanku Niko tiba untuk membantuku mengemasi barang-barangku selama tiga tahun di kota ini. Banyak barang yang harus aku tinggal atau aku bawa ,mungkin buku-buku catatan yang telah berdebu di rak bawah lemariku. Aku menata satu persatu sambil mengingat masa-masa dulu yang mungkin bias menitikkan air mata tanpa alas an. Buku-buku kecil yang berserakan, gambar-gambar buatanku di tembok kamar ini mungkin akan segera menghilang karena sudah lama aku tak memperhatikan gambar di tembok itu. Aku teringat saat membuat gambar itu ,aku bermaksud untuk menunjukkan kepada penghuni kos nanti yang akan menempati kamarku ini kelak ketika aku telah lulus.
dalbert bersama hendrik (gimen)

Akhirnya niko tiba, seperti biasa temanku ini selalu tanpa senyuman dengan pandangan yang tajam. Aku tersenyum lalu menyuruhnya membawakan barang-barangku ke dalam mobil yang sudah berada di luar. Setelah niko kembali aku menyuruhnya untuk membantuku mengangkat sprei kasur yang penuh dengan buku-buku yang lumayan berat juga untuk kami berdua hingga membuat kami sedikit kewalahan membawanya. Barang ku masukkan kedalam mobil, ayahku juga sedang terlihat ngobrol dengan ibu kos di ruang tamu, ya mungkin sedikit berpamitan atau basa-basi yang tidak perlu untuk saat ini. Mungkin hari ini akan sedikit melelahkan karena besok aku sudah ada dirumahku, di kampong halamanku untuk beberapa lama.
Setelah semua barang-barang selesai kumasukkan kedalam mobil aku dan ayahku berpamitan untuk segera pulang kerumah. Ibu kos tersenyum kecil mungkin menandakan ada sedikit rasa haru, aku berjalan ke luar menaiki motorku untuk mengantar Niko pulang kerumahnya di dekat terminal. Ayahku sudah pulang duluan kerumah.
Sesampainya dirumah Niko ternyata teman-teman sudah berkumpul di sana, mereka adalah Hendrik, Eman, Dalbert, Noreen, dan Farid. Mereka kelihatan kesal terlalu lama menungguku, aku hanya tersenyum cengengesan menghadapi wajah mereka yang semakin mengkerut. Kusodorkan satu pak rokok langsung disambut senyuman oleh mereka. Aku memang tidak tahu apa yang dipikirkan oleh teman-teman tapi aku hanya tahu kalau sebatang rokok ini bias menjelaskan semuanya.
Di ruang tamu kami saling ngobrol sesuatu yang tidak penting, aku hanya menikmati the hangat buatan neneknya Niko yang bias sedikit menghangatkan suasana gerimis hari ini. Beberapa obrolan membuat kami tertawa terbahak-bahak, ya mungkin karena hari ini hari terakhir kami memakai seragam putih abu-abu dan suatu saat nanti kami bertemu pasti dalam keadaan yang berbeda, rasa yang berbeda, dan pemikiran yang berbeda dari sekarang.
ketik dalbert bersama eman
Hujan di luar sudah reda kami semua berpamitan untuk pulang kerumah masing-masing. Aku dan Hendrik langsung pulang kea rah timur jauh, karena kampong kami bertetangga. Kampong kami memiliki kesamaan untungnya masih berbeda kecamatan. Kehidupan anak muda dikampung selalu identik dengan tawuran, premanisme dan semacamnya. Kampungnya Hendrik terkenal di wilayah utara sedngkan kampungku berada di wilayah barat. Pernah kampong kami saling terlibat masalah tapi waktu itu aku belum kenal dengan Hendrik, waktu itu masalah terjadi di pertandingan sepak bola antar kampong. Tawuran besar hamper terjadi sampai polisi datng menghentikan dan menyuruh kami pulang ke kampong kami masing-masing.
Aku kenal dekat dengan Hendrik saat kami satu perguruan di Blitar selatan, hal itu karena kami di perkenalkan oleh temanku Noreen untuk mengikuti sebuah perguruan yang sudah punya nama terutama di jawa timur. Walaupun tidak pernah lulus mengikuti pendidikan kanuragan di perguruan itu tapi kami tetap bersahabat sampai sekarang. Hendrik selalu menemaniku saat aku sedang ada masalah, di selalu jadi teman yang selalu ada dan siap berkelahi untuk urusan apapun. Memang temanku ini orangnya berani berkelahi tapi dia selalu kalah apabila sedang berurusan karena seorang cewek. Pernah suatu kali dia dating ke kosku dalam keadaan awut-awutan karena dia merasa ditipu oleh seorang cewek, akhirnya untuk menyenangkan hatinya aku mengajaknya untuk melihat acara tahunan di suatu daerah di luar kota ini. Kami membuat keributan di sebuah acara sampai kami dikejar-kejar oleh tentara, walaupun tidak sampai jadi buronan tapi halite membuat kami senang karena bias merasakan adrenalin yang tidak dijual dimanapun.
Aku menghela nafas karena sedikit gerimis membuatku sedikit kedinginan di jalan ini. Aku melihat motor Hendrik melaju disampingku tanpa ada rasa kuatir kami bercerita aneh-aneh dijalan, menceritakan orang-orang yang sedang duduk dipinggir jalan atau hal-hal lain yang dirasa tidak perlu. Kami tertawa terus hari ini tanpa sadar kami akan emrasakan kehilangan seorang teman yang berarti untuk kami, seorang teman yang selalu member kami motivasi dan mimpi yang belum pernah sekalipun impikan. Kepergian seorang teman selamanya.