Perkataan Yesus kepada Petrus, “Engkau adalah Petrus dan di atas batu
karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku” telah menyebabkan badai
perdebatan yang belum mereda selama berabad-abad. Gereja Katolik Roma
menyatakan bahwa kata-kata inh membuktikan Petrus telah dijadikan lebih
unggul daripada rasul-rasul lainnya dan penghormatan ini telah dialihkan
kepada paus-paus Gereja Katolik Roma. Dan kesimpulannya, ketika
berbicara tentang takhta Petrus, yaitu ex cathedra, maka ia tidak mungkin bersalah.
Kewenangan
Paus tidak lagi diterima secara serius oleh umat Katolik seperti dulu.
Ketika ia berbicara mengenai keburukan Keluarga Berencana atau dosa
perceraian, perkataannya sering kali tidak dihiraukan oleh banyak orang
Katolik, khususnya di Amerika Serikat. Dewasa ini banyak orang yang
menganggap dirinya orang-orang Katolik yang baik tidak sependapat dengan
paus mengenai peran wanita di dalam gereja dan bahkan mengenai aborsi.
Namun ajaran resmi Katolik Roma yang menyangkut kewenangan gereja dalam
persoalan-persoalan seperti itu masih tetap berlaku.
Bagaimanakah gagasan kepausan ini muncul dan mengapa?
Suatu Permulaan
Tahun
452 SM, ketika Attila, orang Hun, memimpin pasukan berkudanya menuju
Sungai Donau dengan maksud menguasai bagian barat dari Kerajaan Romawi.
Serangan yang mendadak melintasi pegunungan Alpen membawanya ke Italia
bagian utara. Ia bergerak terus menuju Roma sampai ia berjumpa dengan
suatu delegasi Romawi, yang memohonnya untuk meninggalkan daerah itu. Ia
baru saja hendak mengabaikan mereka ketika ia mendengar bahwa Leo,
uskup Roma, ada diantara rombongan itu, sebagai Kerajaan Romawi. Mereka
saling berhadapan, seorang raja asing dan seorang pemimpin gereja yang
memerintah. Menurut beberapa sejarawan, Attila sudah memutuskan bahwa ia
tak dapat meneruskan usaha penaklukannya karena memburuknya keadaan
pasukannya disebabkan perjalanan kaki yang jauh. Bagaimanapun juga, ia
menyetujui permintaan Leo untuk menyelamatkan ibu kota. Hal ini
menjadikan Leo lebih ulung, bukan saja sebagai seorang pemimpin agama,
tetapi juga sebagai seorang politikus.
Apakah sangkut-pautnya
dengan perkembangan kepausan? Leo, yang dikenal dalam sejarah sebagai
Leo Agung, memanfaatkan kepercayaan yang makin kuat bahwa perkataan
Kristus kepada Petrus, “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini
Aku akan mendirikan jemaat-Ku,“ dapat dipakai untuk para uskup Roma.
Ini memberhnya keunggulan dan wewenang yang ia butuhkan untuk
memerintah.
Akan tetapi, mengapakah kehormatan ini harus
diberikan kepada uskup Roma? Betapapun, gereja dimulai di Yerusalem, dan
jemaat-jemaat penting lainnya terdapat di tempat-tempat seperti
Antiokhia di Siria dan Efesus. Namun, ingatlah bahwa Roma adalah ibukota
Kerajaan Romawi. Kota ini mempunyai kekuatan dan pengaruh politik,
sebuah kota tempat orang-orang percaya mula-mula mendirikan sebuah
gereja Kristen yang kuat. Beberapa perkiraan menetapkan jumlah
orang-orang percaya di Roma sekitar 30 ribu orang. Di barat, baik gereja
maupun kotanya tidak mempunyai saingan. Lagi pula, para penulis Kristen
yang mula-mula mengatakan bahwa Petrus dan Paulus telah mendirikan
gereja di Roma. Lalu timbullah pemikiran bahwa uskup Roma menjadi calon
pengganti rasul-rasul tersebut.
Lalu kita harus memahami sesuatu
tentang struktur gereja. Uskup-uskup bermunculan diberbagai bagian yang
berbeda dari negeri itu, tetapi kadangkala mereka berkumpul bersama
untuk bersidang dan mendiskusikan masalah-masalah gereja. Seperti yang
dapat diduga, uskup dari gereja-gereja yang lebih penting mempunyai
pengaruh yang lebih besar dalam pertemuan-pertemuan tersebut. Jadi
beberapa uskup mulai menjalankan kekuasaan atas daerah-daerah geografis
tertentu. Gerejka-gereja yaang lebih kecil mempunyai imam yang memberi
laporan kepada uskup. Dengan demikian, Roma bertambah besar kewenangan
dan kekuasaannya.
Akhirnya, semua ini mencapai puncaknya. Setelah
Konstantinus menjadi kaisar pada tahun 312, ia memutuskan untuk
memindahkan ibukota Kerajaan Romawi ke Roma Baru, yaitu Konstantinopel,
sebuah kota yang ia namakan menurut namanya sendiri. Jadi, kekuatan
politik beralih dari barat ke timur (Yunani ada di Timur dan
melambangkan suatu garis pemisah di antara barat dan timur). Ketika
Konstantinus mengatur Konsili yang terkenal pada tahun 325, maka itu
diselenggarakan di Nicea, hanya beberapa mil dari Konstantinopel.
Persaingan
di antara kedua kota itu berkembang. Suatu hari Kaisar dari
Konstantinopel mengadakan sidang umum, seperti yang telah dilakukan oleh
Konstantinus. Akan tetapi, ia mengundang uskup-uskup dari bagian timur
kerajaan sedangkan uskup Roma diabaikan. Konsili ini menyelesaikan
beberapa persoalan teologis, tetapi juga menyatakan bahwa wewenang uskup
Konstantinopel berada pada peringkat kedua setelah uskup Roma karena
Konstantinopel adalah “Roma Baru“.
Sementara itu, di “Roma Lama“,
pernyataan ini ditafsirkan sebagai suatu tantangan terhadap wewenang
uskup Roma. Maka pada suatu sinode pada tahun berikutnya di Roma,
uskup-uskup barat menandaskan, “Gereja Roma yang kudus harus lebih
diutamakan daripada gereja-gereja lainnya, bukan berdasarkan keputusan
sinode, tetapi karena kepadanya telah diberi keunggulan oleh perkataan
Tuhan dan Penebus kita di dalam kitab Injil ketika Ia berkata, “Engkau
adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan
jemaat-Ku.”
Demikianlah, suasana teologis ketika Leo menjadi
uskup. Secara politik, kekuasaan Roma mulai berkurang dan karena itu
alasan lama mengenai keunggulan gereja Roma oleh sebab kekuasaan dan
pengaruh Roma kurang berpengaruh. Tetapi ini tak menjadi soal. Sekarang
Roma dapat menuntut keunggulannya berdasarkan keunggulan Petrus. Dan
karena kemerosotan politis kota itu, maka uskup sanggup menjalankan
kekuasaan yang lebih besar.
Leo benar-benar menyadari kedudukan
tinggi yang telah ia warisi. Jadi, pada hari pelantikannya ia menegaskan
bahwa jabatannya yang baru meninggikan “kemuliaan Rasul Petrus yang
kudus... dalam takhtanya, kuasanya dilangsungkan dan kewenangannya
bersinar.“ Kristus berjanji untuk mendirikan gereja-Nya di atas Petrus,
dan inilah penggenapan perkataan-Nya. Leo adalah seorang pengkhotbah dan
organisator yang baik. Ia mengambil banyak prinsip pemerintahan Romawi
dan menerapkannya kepada gereja. Organisasi gereja dibakukan di seluruh
kerajaan.
Meskipun Leo telah berhasil mencegah serangan Attila
orang Hun, ia tidak sanggup mencegah kaum Vandal yang menyerang Roma
pada tahun 455. Di pintu gerbang kota Roma, Leo bertemu dengan Gaiseric,
raja orang Vandal, yang telah membawa pasukannya sampai ke sebelah
utara sungai Tiber. Leo memohon belas kasihan, tetapi kaum Vandal
menjarah Roma selama 14 hari. Mereka menjarah istana-istana, menahan
tawanan politik dan bahkan anggota-anggota dari kaum aristokrat sebagai
sandera politik. Dengan kapal-kapal yang sarat dengan harta benda dan
manusia, kaum Vandal berlayar menuju Kartago.
Uskup Leo menghibur
penduduk dan menaikkan ucapan syukur kepada Allah. Oleh karena ia
menjadi penengah kepada raja Vandal, suatu pembunuhan masal telah
dihindari dan sebagian gereja-gereja terlindungi. Ia mengajak rakyat
Roma untuk mengakui bahwa Allah telah melembutkan hati kaum barbar itu.
Bruce Shelley dalam penelitiannya tentang sejarah gereja mengatakan
bahwa Leo tidak menyebut dirinya dan ia tidak perlu melakukannya,
meskipun ia telah menyelamatkan Roma untuk kedua kalinya. “Ia telah
memakai gelar kafir yang kuno Pontifex Maximus, imam besar keagamaan di
seluruh kerajaan, dan semua orang mengerti bahwa Leo-lah, bukan Kaisar,
yang telah memikul tanggung jawab atas kota yang kekal itu. Petrus telah
mulai berkuasa.“1
Setelah melompat beberapa abad ke depan, kita
kembali melihat persaingan yang terjadi antara uskup Roma dan uskup
Konstantinopel. Kedua bagian gereja ini berpisah semakin jauh.
Berabad-abad telah berlalu sampai suatu hari pada tahun 1054, ketika
suatu kebaktian akan dimulai di gereja Himat Kudus di Konstantinopel,
dua orang wakil dari gereja Roma muncul dan meletakkan suatu bula paus
(suatu pengumuman resmi dari paus) di atas Altar. Uskup Roma, secara
resmi mengucilkan uskup Konstantinopel. Akan tetapi, uskup
Konstantinopel tidak gentar. Bula itu akhirnya dibuang di jalan ketika
seorang diaken gereja itu mendesak utusan dari Roma untuk membawanya
kembali. Jadi blok timur dari Kekristenan memisahkan dirinya dari Roma.
Peristiwa ini menjelaskan adanya Gereja Ortodoks Timur, yang menguatkan
banyak ajaran agama (meskipun dengan berbagai perbedaan yang penting),
tetapi menolak untuk menerima kekuasaan Paus.
Para Paus dan Kekuasaan Politik
Seperti
yang telah kita simak, Leo Agung adalah uskup Roma pertama yang
menjalankan kekuasaan politik dan kekuasaan rohani. Tetapi ia bukan yang
terkahir. Untuk memahami kepausan kita harus menyadari bahwa agama
menjadi kekuatan yang begitu besar selama Abad-Abad Pertengahan sehingga
para paus sanggup menguasai baik dunia politik maupun dunia rohani. Dan
dalam usaha untuk menyatukan keduanya para paus mengambil kepemimpinan.
Dengan
bangkitnya Paus Gregorius Agung (tahun 540-606) kepausan memimpin di
dalam pembakuan ibadah dan liturgi. Gregorius melepaskan kekayaan besar
dan melayani umat dengan rendah hati. Ia menyebut dirinya ”hamba dari
para hamba Allah.”
Di bawah kepemimpinannya, kekuasaan dan
wilayah gereja makin meluas. Ketika suku Lombard menyerang Roma,
Gregoriuslah yang mengerahkan bala tentara untuk mempertahankan Roma.
Sekali lagi, kekuasaan rohani dan politik bersatu di dalam satu orang.
Gregorius
paling dikenal karena nyanyiannya yang membakukan ibadah dalam
gereja-gereja. Ia juga mendorong kecenderungan yang sedang berkembang
untuk menganggap Misa sebagai pengorbanan tubuh dan darah Kristus. Pada
zamannya, ia dicintai karena khotbah-khotbahnya yang relevan dan
tafsirannya tentang kitab Ayub. Buku pedomannya tentang teologi pastoral
yang berjudul The Book of Pastoral Rule mempunyai dampak yang besar di seluruh kerajaan.
Ia
percaya pada api penyucian sebagai suatu tempat dimana jiwa-jiwa
disucikan sebelum mereka masuk sorga. Teologinya tidak hanya diperoleh
dari pengajaran Perjanjian baru dan para bapa gereja, tetapi juga dari
takhyul yang sedang berlaku berkaitan dengan peninggalan dan doa kepada
orang-orang suci. Ia percaya bahwa Misa bermanfaat baik bagi orang mati
maupun bagi orang hidup. Ia mengajarkan bahwa keselamatan diperoleh baik
dengan iman maupun dengan perbuatan baik.
Pada umumnya,
Gregorius dinggap sebagai paus yang pertama dari abad pertengahan.
Karyanya menetukan arah gereja secara teologis, litugis, dan politis
untuk tahun-tahun mendatang.
Bertahun-tahun kemudian, pada tahun
799, Paus Leo III sedang memimpin suatu prosesi melaui jalan-jalan di
Roma ketika ia ditarik dari kudanya dan dibawa ke suatu biara Yunani.
Para pendukung Paus yang sebelumnya menuduh dia telah melakukan sumpah
palsu dan perzinaan. Akan tetapi, pendukungnya sendiri menyelamatkannya
dan membawanya kembali ke Basilika Santo Petrus. Leo III menyadari bahwa
apabila ia hendak memerintah, ia harus mengisi suatu kekosongan politik
dengan memahkotai seorang kaisar yang dapat memberikannya perlindungan.
Maka ia memohon bantuan kepada raja dari Frank, Karel Agung.
Pada
hari Natal tahun 800, Karel datang ke Basilika Santo Petrus untuk
beribadah. Pada kesempatan itu paus mendekati Karel dengan sebuah
mahkota di tangannya dan menaruh di kepalanya. Akhirnya, Kerajaan Roma
yang sedang hancur akan dipersatukan kembali. Fakta bahwa kaisar telah
dimahkotai oleh paus menunjukkan betapa kuatnya kekuasaan paus.
Karel
Agung mempunyai kekuatan militer untuk menghancurkan musuh-musuhnya. Ia
melihat kekristenan menjadi pengaruh keagamaan yang dominan di dalam
kerajaan. Ia percaya bahwa jiwa manusia cocok dengan gereja dan tubuh
manusia cocok dengan negara. Demikianlah, gereja memerintah atas jiwa
manusia dan negara atas tubuh mereka. Paus dan kaisar harus saling
mendukung dalam menjalankan tugas-tugas yang diberikan Allah kepada
mereka sementara mereka memperluas kekuasaannya bagi kebaikan umat
manusia.
Karel Agung yang memegang pimpinan. Ia memperluas
kekristenan di seluruh Kerajaan Romawi dan memulihkan hukum dan tata
tertib. Ia memimpin kira-kira 50 kampanye untuk mengakhiri anarki di
dalam kerajaannya dan memperluas perbatasannya. Ia juga memajukan
kebudayaan dan pendidikan.
Perselisihan Antara Paus dan Kaisar
Adakalanya paus gagal dalam usahanya untuk mengendalikan
pemimpin-pemimpin politik. Pada abad XI timbul perdebatan mengenai
apakah para penguasa politik mempunyai kuasa untuk mengangkat
pejabat-pejabat gereja. Di Jerman para bangsawan dan raja feodal telah
mencengkeram cukup banyak kekuasaan sehingga mengendalikan gereja.
Ketika Paus Gregorius VII mulai berkuasa pada tahun 1073, ia bersikeras
bahwa kekuasaan rohani lebih tinggi daripada para pemimpin politik. Ia
mengancam akan mengucilkan setiap orang yang mendapatkan wewenangnya
untuk melayani di dalam gereja dari para penguasa sipil. Hal ini
mengakibatkan timbulnya pertikaian yang tajam antara dia dan kaisar,
Henry IV. Paus menuduh Raja Henry melakukan simoni (menjualbelikan
jabatan gereja). Jadi, Henry diperintahkan untuk menghadap paus.
Sebaliknya Henry mengadakan suatu sinode untuk menyatakan bahwa paus
tidak layak untuk memangku jabatannya. Sebagai pembalasan, Paus
Gregorius mengucilkan Henry dan membebaskan seluruh rakyatnya dari
kesetiaannya kepada kaisar.
Henry memutuskan bahwa sebaiknya ia
mengubah sikapnya agar tidak kehilangan kekuasaannya; jadi ia datang
menghadap Paus pada bulan Januari 1077 di Canossa, sebuah istana di
pegunungan Italia. Kaisar mengenakan pakaian pertobatan, namun dipaksa
untuk berdiri selama 3 hari di dalam salju dengan bertelanjang kaki,
sambil memohon pengampunan. Akhirnya, kami mengutip perkataan Gregorius,
”Kami melepaskan belenggu anatema (kutuk) dan pada akhirnya
menerimanya ke dalam pangkuan Gereja Bunda Kudus.” Sekali lagi
keunggulan paus diteguhkan. Kemudian Henry memperteguh kekuatannya dan
kembali, kali ini ia menawan Gregorius.
Sementara abad demi abad
berlalu, kekuasaan paus sebagian besar semakin bertambah, diperkuat
karena kepemimpinan politik yang lemah di Eropa. Kemuliaan kaisar pada
masa silam digantikan oleh kepemimpinan agama para paus. Mereka tidak
hanya diakui sebagai kepala para raja dan pangeran. Orang percaya bahwa
gereja memiliki 2 buah pedang, Firman Tuhan dan pedang baja. Kekuasaan
politik yang bersifat sementara akan digunakan untuk memenuhi kehendak
gereja yang Am. Dengan demikian negara akan membantu dalam penyelamatan
manusia. Pemikiran bahwa kesatuan politik dapat seiring dengan
anekaragam agama sama sekali belum timbul dalam pikiran para penguasa
abad pertengahan.
Perang Salib
Pada tahun 1095, Paus Urbanus II memproklamasikan perang salib yang
pertama untuk memerdekakan Tanah Suci yang diduduki oleh orang asing. Ia
mendorong orang-orang Kristen untuk mengangkat salib dan memperoleh
baik berkat-berkat rohani maupun wilayah bagi diri mereka sendiri. Ia
berjanji bahwa barangsiapa yang pergi akan diberikan pengampunan untuk
semua dosa mereka pada masa lalu. Jika seorang tak dapat pergi, ia dapat
memberikan sumbangan keuangan dan mengutus seorang pengganti. Ia juga
akan diampuni dosa-dosanya pada masa lalu.
Lebih dari 5000
orang mengadakan perjalanan itu dan merebut Kota Suci Yerusalem. Seorang
saksi, yang merangkum semua itu dari perspektif teologis, menulis,
”Sungguh ini merupakan hukuman yang adil dan baik sekali dari Allah
bahwa tempat ini harus dipenuhi dengan darah orang-orang yang tiak
percaya, karena kota ini telah demikian lama menderita oleh karena
perbuatan mereka yang menghujat Allah.” Tak pelak lagi, pauslah dan
bukan kaisar, yang menyatukan kerajaan untuk melawan ancaman kekuatan
dari orang-orang yang menjajahnya.
Paus Innocentius III
(1198-1216) adalah seorang administrator yang cakap. Ia mengatakan bahwa
vikaris Kristus lebih rendah daripada Allah, namun melebihi manusia. Ia
memberi tahu para pangeran Eropa bahwa kepausan itu seperti matahari,
sedangkan para raja seperti bulan, yang memperoleh kekuatannya dari
matahari. Dibawah kepemimpinannya kekuasaan paus mencapai puncaknya.
Paus sanggup menjaga agar para pangeran tetap patuh kepadanya dengan
ancaman pengucilan. Dalam hal demikian orang yang dikucilkan secara
langsung dilepaskan dari semua jabatan dan bahkan tidak akan dimakamkan
secara Kristen. Apabila raja dari suatu negara tidak menaati Paus,
seluruh wilayahnya akan ditempatkan di bawah interdict (larangan). Semua
kebaktian umum di wilayah itu dihentikan kecuali baptisan dan
perminyakan orang yang mau meninggal. Jadi, kekuasaan politik harus
taat, kalau tidak akan dipecat dari kekuasaan.
Kekacauan di dalam Kepausan
Bagaimanapun
juga, kekuasaan paus menghadapi perlawanan keras pada abad ke-14. Paus
Bonifacius menentang Edward I dari Inggris dan Philip dari Prancis
karena mereka mulai mengenakan pajak kepada para pejabat gereja di
wilayahnya. Bonifacius mengeluarkan unamsanctam, pernyataan tegas yang
paling ekstrem dari kekuasaan paus. Ia menyatakan bahwa setiap manusia
harus tunduk kepada paus dari Roma. Philip menanggapi dengan mencoba
menghadapkan paus ke pengadilan di Prancis dan menyuruh orang-orangnya
menangkap paus ketika ia sedang berlibur di sebuah tempat kediaman musim
panas. Paus dipenjarakan selama beberapa hari dan beberapa minggu
kemudian mati karena merasa terhina.
Tak pelak lagi, Philip
mendapat kemenangan. Dan ketika pengganti Bonifacius mati setelah
pemerintahan yang singkat, maka pada tahun 1305 para kardinal memilih
seorang Prancis, Klemen V, sebagai paus. Tetapi ia tidak pernah datang
ke Roma, karena lebih suka memerintah dari Avignon di Prancis Selatan.
Dengan demikian mulailah suatu periode 72 tahun dimana 6 paus, semuanya
berkebangsaan Prancis, secara berturut-turut memerintah dari Prancis dan
bukannya dari Kota yang dianggap Kekal. Para sejarawan menjuluki masa
ini ”Tawanan di Babel” dari gereja.
Perpindahan ini menimbulkan
kemarahan besar, terutama di Jerman dan Italia. Negara-negara ini
menolak untuk memberi sokongan kepada kepausan dan karena itu paus-paus
Prancis itu mengumpulkan uang dengan meminta bayaran dan pajak untuk
memperoleh hak-hak istimewa gerejani. Bilamana seorang uskup diangkat,
upahnya pada tahun pertama harus diberikan kepada paus. Surat-surat
penghapusan siksa dijual. Surat-surat ini menganugerahkan
keuntungan-keuntungan rohani yang mencakup dari pengampunan dosa sampai
perlindungan dalam perang.
Akhirnya, ketika kepausan pindah
kembali ke Roma pada tahun 1377, para kardinal, yang kebanyakannya orang
Prancis, mengalah kepada tekanan dan memilih seorang paus berkebangsaan
Italia, Urbannus VI. Akan tetapi, kurang dari 6 bulan kemudian, mereka
menyesali keputusan mereka karena Urbanus VI meremehkan mereka. Mereka
membalas dengan mengatakan bahwa mereka terpaksa memilih dia karena
tekanan Roma. Dengan demikian mereka menyatakan bahwa tindakan mereka
sendiri tidak sah. Mereka memilih seorang paus baru, Klemens VII. Ia
memutuskan bahwa ia akan pindah ke Avignon.
Dalam pada itu, paus
yang telah diturunkan dari takhtanya, menanggapi dengan mengangkat suatu
dewan kardinal yang baru dan melanjutkan pemerintahannya dari Roma.
Inilah awal dari apa yang dalam sejarah dikenal sebagai ”Skisma besar”,
yang bertahan selama 39 tahun. 2 Paus memerintah secara serempak,
masing-masing menyatakan berhak untuk mengucilkan yang lain. Umat harus
memilih siapa yang akan mereka anut. Italia utara, sebagian besar
Jerman, Skandinavia, dan Inggris mengikuti paus di Roma; Prancis,
Spanyol, Skotlandia dan Italia Selatan setia kepada paus di Avignon.
Pada
tahun 1409, sekelompok kardinal dari kedua golongan yang bersaingan ini
berkumpul untuk menyelesaikan pertentangan itu. Mereka memberhentikan
kedua paus yang ada dan mengangkat seorang paus yang baru, Aleksander V.
Akan tetapi, kedua paus yang lain itu tidak mau menerima keputusan
konsili tersebut. Pada waktu itu gereja mempunyai 3 Paus, yang
masing-masing menyatakan menjadi pengganti Petrus yang sah, serta
menyebut saingannya itu Antikristus. Masing-masing menjual surat
penghapusan siksa untuk mendapatkan cukup uang untuk memerangi
saingannya.
Pada tahun 1414, kaisar mengadakan suatu persidangan
di kota Kontans. Para utusan hadir berdasarkan perwakilan geografis dan
mereka mempunyai kekuasaan cukup untuk menyuruh salah seorang dari
ketiga paus itu mengundurkan diri dan memberhentikan keuda paus yang
lain. Mereka memilih seorang paus baru, Martin V, dan akhirnya kedua
paus itu menerima realitas keadaan itu dan melepaskan kekuasaan mereka
sebagai paus.
Perpecahan telah berakhir, tetapi suatu masalah
baru timbul, Paus Martin V tidak mengakui semua tindakan konsili yang
telah memilih dia kecuali satu—yaitu keputusan mereka untuk memilih dia
sebagai paus. Alasannya: dengan memilih seorang paus baru dan
memberhentikan yang lain, sebenarnya Konsili di Kontans itu menegaskan
bahwa sebuah konsili mempunyai kekuasaan atas Paus. Hal ini tidak dapat
dibiarkan oleh Paus yang baru itu.
Jadi, sekali lagi paus
dianggap yang tertinggi. Seperti yang dikatakan oleh Shelley, sekali
lagi paus tidak dapat memutuskan apakah ia pengganti Petrus atau
pengganti Kaisar.
Paus Tidak Mungkin Bersalah
Sementara
pengaruh kepausan bertambah besar, demikian pula pengabdian yang
diharapkan kepada ajaran-ajarannya. Sebagaimana Petrus adalah yang
pertama di antara para rasul, demikianlah uskup Roma menjadi yang
pertama di antara para uskup. Pada tahun 1647, Paus Innocentius X
menolak gagasan bahwa Petrus dan Paulus bersama-sama menjadi kepala
gereja sebagai suatu ajaran sesat. Kenyataan bahwa Paulus
“berterang-terangan menentang“ Petrus (Gal 2:11) tidak meniadakan posisi
Petrus yang tertinggi; bahkan, Roma menganggap bahwa Paulus menegur
Petrus justru karena kekuasaan Petrus yang tinggi di dalam gereja
mengahruskan ia ditegur.
Pernyataan bahwa Paus tidak mungkin
bersalah diulang pada Konsili Vatikan yang pertama tahun 1870.
ditandaskan bahwa “jikalau seorang menyangkal bahwa...Petrus yang kudus
mempunyai pengganti-pengganti yang abadi dalam Keunggulannya atas gereja
yang Am, biarlah ia terkutuk.“2 Selanjutnya konsili ini menegaskan
bahwa paus mempunyai yuridiksi penuh dan tertinggi atas seluruh gereja,
bukan saja dalam iman dan moral, tetapi juga dalam disiplin gereja dan
dalam pemerintahan gereja.
Khususnya, ini berarti bahwa paus
lebih berkuasa daripada semua uskup bersama-sama. Kami mengutip
perkataan Ludwig Ott, seorang teolog Roma Katolik, yang mengatakan bahwa
paus memiliki “kekuasaan tertinggi di dalam Gereja, artinya, tak ada
yuridiksi yang memiliki kekuasaan yang lebih besar atau sama besar.
Kekuasaan paus melebihi kekuasaan tiap uskup tersendiri dan juga semua
uskup lain bersama-sama. Oleh karena itu, para uskup secara kolektif
(terlepas dari paus), tidak sederajat atau tidak lebih tinggi daipada
paus.“ Kami mengutip Ott kembali, “Jadi, paus dapat memutuskan secara
mandiri setiap persoalan yang berada di bawah ruang lingkup yuridiksi
gereja tanpa persetujuan uskup-uskup yang lain atau bagian-bagian lain
dari gereja.“3
Doktrin ini mendapat perlawanan keras dari dalam
gereja sendiri. Seorang teolog terkemuka, Dollinger, yang telah mengajar
teologi selama 47 tahun, dikucilkan pada tahun 1871 karena
perlawanannya terhadap dogma ini. Secara tepat ia mengomentari bahwa
kepercayaan seperti itu meniadakan kebutuhanakan konsili dan uskup,
karena mereka tak dapat menolak keputusan paus. Ia menulis mengenai para
uskup,“Jika mereka ingin mengukuhkan keputusan paus...ini bagaikan
membawa lentera-lentera untuk membantu matahari pada tengah hari.“
Demikianlah, dengan memberikan yuridiksi penuh dan karunia tak mungkin
bersalah kepada paus, konsili telah menutup kemungkinan untuk menilai
pengajaran-pengajarannya menurut Alkitab. Bila Paus berbicara ex
cathedra, ia dapat mengganti Alkitab. Semua protes dibungkamkan.
Meskipun
tidak ada bukti sejarah langsung bahwa Petrus pernah berada di Roma,
gereja percaya bahwa ia mati di sana dan bahwa Basilika Santo Petrus
yang asli telah dibangun di atas makamnya.
Bagaimana tentang
keunggulan Petrus, pemindahan wewenangnya kepada uskup Roma, dan ajaran
bahwa paus tak mungkin bersalah? Apakah ini merupakan ajaran Perjanjian
Baru? Ataukah ada alasan-alasan lain yang absah untuk mempercayai
doktrin-doktrin ini?
Kepausan dan Perjanjian Baru
Ketika
Kristus berkata kepada Petrus,“Engkau adalah Petrus dan di atas batu
karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku,“ jelaslah Ia bermaksud
mengemukakan suatu permainan kata—kata Petrus berarti batu. Tetapi kita
harus memperhatikan bahwa ada dua kata Yunani yang berbeda yang
digunakan di sini.“Engkau adalah Petrus [Petros] dan di atas batu
karang [petra] ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku.“ Karena petra adalah
sebongkah batu, kemungkinan Kristus sedang memikirkan dirinya sendiri.
Di bagian lain dari Perjanjian Baru, Ia disebut sebagai dasar gereja.
Akan
tetapi, bagi kepentingan diskusi ini marilah kita mengatakan bahwa
memang Petruslah yang Ia maksudkan. Para teolog Katolik Roma akan
menguatkan bahwa gereja didirikan di atas dasar Kristus dan Petrus.
Tetapi meskipun hal ini diterima selaku benar, 3 pertanyaan muncul.
Pertama, adakah bukti dalam Alkitab bahwa wewenang Petrus dapat
dipindahkan? Kedua, adakah sesuatu yang mengemukakan bahwa wewenang ini
telah dipindahkan kepada uskup-uskup Roma? Dan ketiga, adakah sesuatu
dalam Perjanjian Baru yang menunjukkan bahwa Petrus tak mungkin
bersalah dalam pernyataan-pernyataannya dan bahwa karunia itu juga telah
dilimpahkan pada uskup-uskup Roma?
Ludwig Ott, teolog
Katolik sekali lagi berada dalam posisi yang tidak menguntungkan karena
harus mengakui bahwa keunggulan Petrus tidak terungkap dengan jelas di
dalam perkataan Kristus, tetapi bahwa kesimpulan itu dapat diambil dari
sifat dan tujuan kepausan. Sedangkan untuk kepercayaan bahwa wewenang
Petrus dapat dipindahkan atau bahwa itu telah dilimpahkan kepada para
uskup Roma, ia tak mengutip ayat Alkitab sama sekali.
Dan
bagaimana tentang ketidakmungkinan berbuat salah? Ott mengakui bahwa
para bapak gereja tidak mengatakan bahwa paus tidak mungkin bersalah
namun hal itu tersirat dalam beberapa pernyataan mereka. Sedangkan
sebagai bukti dari Kitab Suci, ia mengacu kepada fakta bahwa Kristus
telah memberikan wewenang kepada Petrus untuk mengikat dan melepaskan
(Mat 16:18-20). Bagaimanapun juga, kita harus memperhatikan bahwa hal
ini tidak hanya diberikan kepada Petrus, melainkan kepada semua rasul
dalam mat 18:18 dan Yoh 20:23. Petrus diberikan Kunci Kerajaan Sorga
karena ia dipilih untuk memberitakan Injil kepada orang Yahudi dan orang
bukan Yahudi (Kis 2, 10, 15). Namun, ayat itu tidak menyebutkan bahwa
hak istimewa ini dapat dipindahkan/diteruskan kepada orang lain.
Bahwa
Petrus dapat berbuat salah cukup jelas dalam Surat Galatia, di mana
Paulus berkata bahwa ia menegur Petrus di depan umum karena mencemarkan
kemurnian Injil. Di bawah tekanan beberapa orang Yahudi, Petrus kembali
kepada kebiasaan makan dari Perjanjian Lama. Paulus mengnggap hal ini
tidak sesuai dengan Injil yang menolak perbedaan-perbedaan seperti itu
dan menawarkan keselamatan baik bagi orang bukan Yahudi maupun orang
Yahudi. Paulus menulis, “Aku berterang-terang menentangnya, sebab ia
salah“ (Galatia 2:11).
Di dalam Perjanjian Baru posisi
kepemimpinan yang tertinggi adalah penatua atau penilik jemaat
(uskup/bishop). Kata-kata ini dipertukartempatkan di banyak bagian
Alkitab. Tetapi tak disebut sama sekali bahwa seorang uskup menjalankan
wewenang atas gereja-gereja lain, apalagi bahwa seseorang menuntut
kekuasaan atas seluruh kekristenan. Para penatua (uskup) dari tiap
gereja lokal hanya bertanggung jawab atas jemaatnya sendiri. Bahaya dari
melimpahkan otoritas yang berlebihan kepada satu orang adalah jika ia
melakukan kesalahan, gereja-gereja lain turut berbuat salah bersamanya.
Kendati
suatu konsili dapat diadakan, tetapi konsili itu tidak mengikat
gereja-gereja lain. Misalnya, konsili gereja yang pertama bersidang di
Yerusalem dan dipimpin oleh Yakobus (bukan Petrus, meskipun ia hadir);
namun kesimpulan-kesimpulannya dipersembahkan kepada gereja-gereja lain
sebagai sesuatu yang “berkenan“ bukan sebagai sesuatu yang harus diikuti
tanpa mempedulikan apakah gereja-gereja yang lain sependapat atau
tidak. Yang jelas ialah bahwa kesimpulan setiap konsili haruslah diuji
dengan Kitab Suci sebelum suatu keputusan diambil untuk mengikutinya
(Kis 15:22-29).
Dapatkah kesatuan terpelihara tanpa adanya
seseorang sebagai kepala? Umat Kristen mengatakan bahwa Kristus adalah
Satu-satunya Kepala gereja dan kesatuan harus didasarkan pada
doktrin-doktrin Kitab Suci saja.
Tulisan-tulisan Perjanjian Baru
yang berbicara dengan paling jelas tentang kepemimpinan Kristus dan
wewenang yang sejajar dari semua orang percaya di hadapan Allah telah
ditulis oleh Petrus. Ia memperkenalkan Kristus sebagai batu penjuru (I
Pet 2:6). Dengan kejelasan yang sama ia mengajarkan bahwa setiap orang
percaya adalah imam di hadapan Allah (I Pet 2:4-7). Sedangkan untuk
jabatan penatua atau uskup, ia menasihatkan supaya mereka “Gembalakanlah
kawanan domba Allah... jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela
sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan,
tetapi dengan pengabdian diri. Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu
mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah
kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu“ (I Pet 5:2-3). Ia tidak
mengharapkan bahwa seorang penatua atau uskup akan memperluas
wewenangnya atas satu gereja, apalagi atas semua gereja. Hanya Kristus
yang mempunyai wewenang seperti itu. Tuntutan paus harus dinilai dengan
mengingat pernyataan Petrus sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar