Film ini dimulai dengan goresan pena seorang Romo (Nirwan Dewanto) di atas kertas, yang sekaligus menjadi curahan hatinya. Ia sedang di tengah perang kala itu, ketika para penduduk pribumi harus berlutut dan menunduk di bawah makian serta todongan senjata Belanda.
Di masa serba tertekan itu, sang Romo mendapat kehormatan menjadi pribumi pertama yang dilantik sebagai Uskup Danaba. Ia pun lebih dikenal dengan sebutan Mgr. Alb. Soegijapranata SJ, dan hijrah dari gerejanya di Yogyakarta ke Semarang.
Dengan ‘jabatan’ itu, Romo lebih dihormati. Yang datang ke gereja mendengarkan ceramahnya bukan hanya penduduk lokal, tetapi juga orang-orang Belanda. Meski begitu, kesehariannya yang bersahaja dan merakyat, tak berubah.
Tahun demi tahun berganti, penjajah datang dan pergi. Jepang masuk Indonesia tahun 1942, Belanda takluk dan harus rela dilucuti senjatanya. Mereka ingin menduduki gereja sebagai markas, namun dengan tegas Soegija menolak.
“Penggal dulu kepala saya,” ujarnya singkat.
Ia memang tidak terjun langsung untuk berperang, namun di setiap masa andilnya selalu tampak. Saat penduduk butuh tempat bernaung karena kondisi jalanan chaos, Soegija membuka lebar-lebar pintu gereja untuk menampung mereka. Ia memerintahkan penyaluran makanan lebih dulu untuk rakyat yang kelaparan, baru untuk para imam.
Saat Hiroshima – Nagasaki di-bom dan masyarakat menuntut kemerdekaan yang belum juga diakui oleh sekutu yang kembali datang ke Indonesia, Soegija berdiplomasi dengan Vatikan sehingga negara itu menjadi negara Barat pertama yang mengakui kedaulatan Indonesia.
Soegija memang terkenal dengan silent diplomacy-nya. Tanpa harus menggunakan kekerasan dan senjata, iman dan semangat kemanusiaannya dapat menjadi panutan yang tak lekang waktu. Menurutnya, menggalang cinta kasih dan keadilan belum cukup, juga perlu bertempur dengan lembut untuk kemerdekaan. Berkat kegigihannya itu, Seogija menjadi uskup pribumi pertama yang mendapat gelar pahlawan nasional dari Soekarno.
Film garapan sutradara Garin Nugroho yang dibuat melalui riset panjang ini bukan film misionaris agama Katolik seperti yang banyak diperdebatkan. Tokohnya juga tidak melulu Soegija. Film ini menampilkan sisi humanis yang masih ada dalam sebuah perang.
Mariyem (Annisa Hertami) yang terpisah dari kakaknya Maryono (Abe) akibat perang, kembali dipertemukan dalam kondisi berbeda. Ling Ling (Andrea Reva) seorang bocah Tionghoa juga terpisah dari mamanya (Olga Lydia), kembali bertemu dalam sebuah momen di gereja. Tokoh menggelitik pun ditampilkan, seorang bocah yang hanya bisa mengeja kata ‘merdeka’ tapi punya semangat juang dan selalu menjadi garda terdepan pasukan pemuda.
Rasa kemanusiaan juga dimiliki para penjajah. Nobuzuki (Suzuki), pemimpin tentara Jepang, tak pernah tega pada anak-anak karena ingat anaknya di rumah. Robert (Wouter Zweers), tentara Belanda yang sangat bernafsu menjadi mesin perang paling hebat, perasaannya luluh saat menemukan bayi di medan perang. Hendrick (Wouter Braaf), jurnalis asal Belanda, pun selalu memotret ekspresi-ekspresi manusiawi dan nasionalisme Indonesia. Ia menemukan cintanya, namun tak mampu bersatu karena perang.
Selain menampilkan kemanusiaan yang beragam, film ini juga banyak menampilkan otokritik untuk bangsa. Baik berupa visual, maupun kata-kata satir dari goresan pena dan ucapan Soegija sendiri. Kata-kata seperti “Apakah yang harus dilakukan seorang pemimpin di tengah krisis dan perubahan zaman?” serta “Apa artinya terlahir sebagai bangsa yang merdeka, jika gagal untuk mendidik diri sendiri,” patut dicermati lebih dalam makna di baliknya.
“Perjuangan sudah selesai, sekarang tinggal bagaimana menata negara dan melayani masyarakat. Kalau mau jadi politikus, harus punya mental politik. Kalau tidak, yang ada dalam pikirannya hanya kekuasaan dan akan menjadi benalu negara,” pesan Soegija di akhir film itu, seakan menjadi perenungan bagi para pemimpin sekaligus rakyat Indonesia di masa sekarang. (eh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar